Wawasan Kebangsaan dan Nilai Nilai Bela Negara
Wawasan Kebangsaan Umum
Sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia membuktikan bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok atau golongan. Sejak awal pergerakan nasional, kesepakatan-kesepakatan tentang kebangsaan terus berkembang hinggga menghasilkan 4 (empat) konsensus dasar serta n Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia sebagai alat pemersatu, identitas, kehormatan dan kebanggaan bersama.
Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia
Fakta-fakta sejarah dapat dijadikan pembelajaran bahwa Kebangsaan Indonesia terbangun dari serangkaian proses panjang yang didasarkan pada kesepakatan dan pengakuan terhadap keberagaman dan bukan keseragaman serta mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tanggal 20 Mei untuk pertamakalinya ditetapkan menjadi Hari Kebangkitan Nasional berdasarkan Pembaharuan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 tahun
1959 tanggal 16 Desember 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
Melalui keputusan tersebut, Presiden Republik Indonesia menetapkan beberapa hari yang bersejarah bagi Nusa dan Bangsa Indonesia sebagai hari-hari Nasional yang bukan hari-hari libur, antara lain : Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 8 Mei, Hari
Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei, Hari Angkatan Perang pada tanggal 5
Oktober, Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober, Hari Pahlawan pada tanggal
10 Nopember, dan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional dilatarbelakangi terbentuknya organisasi Boedi Oetomo di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 sekira pukul
09.00. Para mahasiswa sekolah dokter Jawa di Batavia (STOVIA) menggagas sebuah rapat kecil yang diinisiasi oleh Soetomo. Di depan rekan-rekannya para calon dokter lainnya, Soetomo menyampaikan gagasan Wahidin Soedirohoesodo tentang pentingnya membentuk organisasi yang memajukan pendidikan dan kebudayaan di Hindia Belanda. Beberapa mahasiswa yang hadir saat itu, antara lain : Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji, Soewarno, dan lain-lain. Tanpa mereka sadari, rapat kecil tersebut sesungguhnya menjadi titik awal dimulainya pergerakan nasional menuju Indonesia Merdeka. Juni 1908, koran Bataviasch Niewsblad mengumumkan untuk pertamakalinya berdirinya Boedi Oetomo. Dalam maklumat yang ditandatangani oleh Soewarno selaku Sekretaris diumumkan bahwa : “Boedi Oetomo berdiri untuk memperbaiki keadaan rakyat kita, terutama rakyat kecil”.
Oktober 1908, kongres pertama Boedi Oetomo di Gedung Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool) Yogyakarta. Wahidin Soedirohoesodo bertindak selaku pimpinan sidang. Hanya dalam waktu 5 (lima) bulan saja, Boedi Oetomo sudah beranggotakan +
1.200 orang. Semua koran di Hindia Belanda memberitakan peristiwa tersebut. Lebih dari 300 orang saat itu, namun dikarenakan politik etis Belanda yang memberikan perlakuan khusus pada kaum priyayi, kongres tersebut didominasi oleh para priyayi Jawa. Pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian pada kongres tersebut dan menyebutnya sebagai “Eerste Javanen Congres” atau kongres pertama orang Jawa. Tjipto Mangoenkoesomo, kakak dari Goenawan Mangoenkoesoemo menyampaikan gagasannya agar Boedi Oetomo menjadi partai politik, namun gagasan tersebut ditolak sebagian besar peserta kongres. Menganggap penolakan tersebut tidak sesuai dengan tujuan awalnya pendirian Boedi Oetomo, Tjipto Mangoenkoesomo kemudian memilih aktif di Indische Partij dan dr. Soetomo kemudian mendirikan Soerabaja Stoedy Cloeb. Pada September 1909, anggota Boedi Oetomo mencapai + 10.000 orang. Kongres terakhir Boedi Oetomo tercatat pada bulan Agustus 1912 yang kemudian memilih Pangeran Ario Noto Dirodjo sebagai ketua.
Pada 1908, beberapa mahasiswa Indonesia di Belanda mendirikan sebuah organisasi perkumpulan pelajar Indonesia yang bernama Indische Vereeniging (IV). Tujuan didirikan organisasi ini, menurut Noto Soeroto dalam tulisannya di Bendera Wolanda tahun 1909, adalah untuk “memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda
dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda”. Sebagian usul untuk membentuk perhimpunan yang akan didirikan ini menjadi cabang dari Boedi Oetomo (BO) ditolak, terutama oleh dokter Apituly dari Ambon. Penolakan ini memperlihatkan bahwa ada suatu rasa kesamaan asal di antara mahasiswa bahwa mereka adalah “saudara sebangsa”, karena perkumpulan yang dibentuk hendaknya tidak hanya beranggotakan orang Jawa saja tetapi semua suku di Hindia Belanda. Untuk mencapai tujuan dasar dari IV, menurut Noto Soeroto, perhimpunan akan memperkuat pergaulan antara orang Hindia di Belanda dan mendorong orang Hindia agar lebih banyak lagi menimba ilmu ke negeri Belanda. Di awal tahun 1925
Indonesische Vereeniging mengubah namanya, menggunakan terjemahan Melayu, menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Di bawah kepengurusan ketua baru Soekiman Wirjosandjojo diputuskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia yang berusaha dicapai lewat strategi solidaritas, swadaya, dan nonkooperasi, tidak hanya perlu memperhatikan aspek “kesatuan nasional” tetapi juga “kesetiakawanan internasional”. Dalam program kepengurusan baru tersebut disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari PI maka propaganda asas-asas PI harus lebih intensif di Indonesia, selain itu PI menekankan pentingnya propaganda ke dunia internasional untuk menarik perhatian dunia pada masalah Indonesia dan membangkitkan perhatian anggota PI pada isu-isu internasional melalui ceramah, berpergian ke negara lain, atau perjalanan studi. Dengan munculnya inisiatif dari internasionalisasi jaringan, menurut Ali Sastroamidjojo, “mencerminkan kesadaran PI bahwa nasionalisme Indonesia tidak berdiri sendiri, faktor internasionalisme disadari sebagai unsur penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional”. Sementara itu berpendapat bahwa propaganda luar negeri penting bagi gerakan nasionalis Indonesia sebab “dunia luar sampai sekarang tidak tahu tentang apa yang terjadi di tanah air kita, sebagai konsekuensinya secara keliru dipercayai bahwa Indonesia benar-benar mendapat berkah pemerintah Belanda”.
Sebagaimana Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 28 OKtober untuk pertamakalinya ditetapkan menjadi Hari Sumpah Pemuda berdasarkan Pembaharuan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang Bukan Hari Libur. Penetapan tanggal 28 Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda dilatarbelakangi Kongres Pemuda II yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Indonesische Clubgenbouw Jl. Kramat 106 Jakarta. Kongres Pemuda II sendiri merupakan hasil dari Kongres Pemuda I yang dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1926 di Vrijmetselaarsloge (sekarang Gedung Kimia Farma) Jalan Budi Utomo Jakarta Pusat. Kongres tersebut diikuti oleh beberapa perwakilan organisasi pemuda di Hindia Belanda, antara lain : Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong Stundeerenden, Boedi Oetomo, Indonesische Studieclub, dan Muhammadiyah.
Muhammad Yamin, seorang pemuda berusia 23 tahun yang saat itu menjadi Ketua Jong Sumatranen Bond, menyampaikan sebuah resolusi setelah mendengarkan pidato dari beberapa peserta kongres berupa 3 (tiga) klausul yang menjadi dasar dari Sumpah Pemuda, yaitu :
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah Indonesia, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.Kami putra dan putri Indonesia menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Melayu.
Penggunaan Bahasa Melayu yang diusulkan oleh Muhammad Yamin menjadi kontroversi saat Kongres Pemuda I, barulah setelah diganti menjadi Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda II, kontroversi tersebut dapat berakhir dan menjadi sebuah kesepakatan. Muhammad Yamin bukanlah orang pertama yang mengusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, namun memang Muhammad Yamin yang lebih sering menyampaikan gagasan tersebut. Ki Hadjar Dewantara pernah mengusulkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa persatuan dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda pada tanggal 28 Agustus 1916. Saat Kongres Pemuda II untuk pertama kalinya, Lagu Kebangsaan Indonesia dikumandangkan. Wage Rudolf Soepratman, seorang pemuda yang berusia 25 tahun meminta waktu kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin rapat saat itu, untuk memperdengarkan sebuah lagu yang berjudul “Indonesia”. Membaca syair Lagu Indonesia, Soegondo Djojopoespito menjadi khawatir. Polisi Hindia Belanda jelas akan membubarkan kongres apabila lagu tersebut dikumandangkan lengkap dengan syairnya. Soegondo Djojopoespito kemudian memutuskan lagu tersebut hanya akan dikumandangkan secara instrumentalia tanpa syair dan Wage Rudolf Soepratman dapat menerima untuk kemudian mulai memainkan biolanya mengumandangkan Lagu Indonesia. Meskipun tanpa syair, lagu tersebut berhasil menggelokan semangat perjuangan para pemuda peserta kongres. Syair Lagu Indonesia pertama kali dipublikasikan pada tanggal 10 November 1928 oleh koran Sin Po, koran Tionghoa berbahasa Melayu.
Tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 tahun 1953 tanggal 1 Januari 1953 tentang Hari-Hari Libur. Dengan menyimpang dari Pasal 5 Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 2/Um, menetapkan “Aturan hari-hari libur. Hari-hari yang disebut di bawah ini dinyatakan sebagai hari libur, antara lain : Tahun Baru 1 Januari, Proklamasi Kemerdekaan, Nuzulul-Qur’an, Mi’radj Nabi Muhammad S.A.W., Id’l Fitri (selama 2 hari), Id’l Adha, 1 Muharram, Maulid Nabi Muhammad S.A.W., Wafat Isa Al
Masih, Paskah (hari kedua), Kenaikan Isa Al Masih, Pante Kosta (hari kedua), dan
Natal (hari pertama).
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI diawali dengan menyerah Jepang kepada
Tentara Sekutu. Mendengar Jepang menyerah, tanggal 14 Agustus 1945 pukul
14.00, Sjahrir yang sudah menunggu Bung Hatta di rumahnya menyampaikan pendapatnya bahwa sebaiknya Bung Karno sendiri yang menyatakan Kemerdekaan Indonesia atas nama rakyat Indonesia melalui perantaraan siaran radio. Pernyataan kemerdekaan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan dicap oleh Sekutu sebagai buatan Jepang. Bung Hatta sendiri sesungguhnya sependapat dengan Sjahrir, namun Bung Hatta ragu, apakah Bung Karno bersedia untuk mengambil kewenangan PPKI dan sebagai pemimpin rakyat menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Kemudian Bung Hatta dan Sjahrir datang menemui Bung Karno, apa yang diduga Bung Hatta ternyata benar, Bung Karno menolak. Bung Karno menyampaikan pendapatnya : “Aku tidak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas PPKI yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka aku bertindak sendiri melewati PPKI yang kuketuai”. Tanggal 15 Agustus 1945 pagi hari, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr. Soebardjo menemui Laksamana Muda Maeda di kantornya untuk menanyakan tentang berita menyerahnya Jepang. Maeda membenarkan bahwa Sekutu menyiarkan tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu, namun Maeda sendiri belum mendapat pemberitahuan resmi dari Tokyo. Meyakini bahwa Jepang telah menyerah, Bung Hatta mengusulkan kepada Bung Karno agar pada tanggal 16 Agustus PPKI segera melaksanakan rapat dan semua anggota PPKI saat itu memang sudah berada di Jakarta dan menginap di Hotel des Indes. Bung Hatta menginstruksikan kepada Mr. Soebardjo agar seluruh angggota PPKI hadir di Kantor Dewan Sanyo Kaigi tanggal 16 Agustus 1945 pukul 10.00. Sore harinya dua orang pemuda, Soebadio Sastrosastomo dan Soebianto menemui Bung Hatta di rumahnya dan mendesak Bung Hatta sama seperti desakan Sjahrir. Bung Hatta berusah menjelaskan semua langkah yang akan dilakukan oleh PPKI dan Bung Karno. Kedua pemuda tersebut tidak mau mendengar sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Bung Hatta. Kedua pemuda tersebut bahkan menuduh Bung Hatta tidak revolusioner, Bung Hatta kemudian memilih untuk tidak menanggapi kedua pemuda tersebut.
Malam harinya pukul 21.30, saat Bung Hatta sedang mengetik konsep Naskah Proklamasi untuk dibagikan kepada seluruh anggota PPKI, Mr. Soebardjo datang menemui Bung Hatta dan mengajak Bung Hatta ke rumah Bung Karno yang sudah dikepung para pemuda. Yang mendesak agar Bung Karno segera memproklamirkan
Kemerdekaan Indonesia. Bung Karno tetap pada pendiriannya dan menolak desakan para pemuda. Bung Karno menuju kea rah Wikana dan berkata : “Ini leherku, setelah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok !”.
Pagi tanggal 16 Agustus 1945, setelah makan sahur, Soekarni dan rekan-rekannya mendatangi rumah Bung Hatta, mengancam apabila Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
15.00 pemuda, rakyat dan mahasiswa akan melucuti Tentara Jepang, sementara Dwi
Tunggal Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok untuk melanjutkan pemerintahan. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta selanjutnya dibawa ke Rengasdengklok. Namun, sekitar pukul 18.00, Mr. Soebardjo datang untuk menjemput Dwi Tunggal Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Pukul 22.30, Dwi Tunggal Soekarno-Hatta menemui Mayor Jenderal Nishimura didampingi Laksamana Muda Maeda dan penterjemah Tuan Miyoshi dengan tujuan untuk memberitahukan tentang rencana rapat PPKI tanggal 17 Agustus 1945 pukul 13.00 dikarenakan batalnya rapat PPKI tanggal 16 Agustus 1945. Mayor Jenderal Nishimura menjelaskan bahwa Tentara Jepang harus tunduk pada perintah Sekutu untuk menjaga Status Quo. Penjelasan tersebut jelas membuat Dwi Tunggal Soekarno-Hatta marah. Bung Hatta yang terkenal akan kesantunannya sampai berkata : “Apakah ini janji dan perbuatan Samurai ? Dapatkah Samurai menjilat musuhnya yang menang untuk mendapatkan nasib yang kurang jelek ? Apakah Samurai hanya hebat terhadap orang lemah di masa jayanya, hilang semangatnya waktu kalah ? Baiklah, kami akan jalan terus apa juga yang akan terjadi. Mungkin kami akan menunjukkan kepada Tuan bagaimana jiwa Samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah”.
Mereka berempat selanjutnya menuju ke rumah Maeda. Di sana sudah banyak yang menunggu baik anggota PPKI maupun para pemuda. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta kemudian mengadakan rapat kecil bersama-sama dengan Mr. Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Melik. Tidak seorangpun diantara mereka yang saat itu membawa Teks Proklamasi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 atau yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Bung Karno berkata : ”Aku persilakan Bung Hatta untuk menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama”. Bung Hatta justru menjawab : “Apabila aku mesti memikirkannnya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan”. Setelah Teks Proklamasi disepakati panitia kecil, Bung Karno mulai membuka sidang, Bung Karno berulangkali membacakan Teks Proklamasi dan semua yang hadir menyatakan persetujuan dengan bersemangat dan raut wajah yang berseri-seri. Bung Hatta kemudian menyampaikan agar semua hadirin yang hadir saat itu untuk menandatangani Tesk Proklamasi, menurut Bung Hatta Teks Proklamasi adalah dokumen penting untuk
anak cucu mereka suatu saat nanti sehingga semua harus ikut menandatangani. Tiba- tiba, Soekarni maju ke depan dan dengan lantang berkata : “Bukan kita semua yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatangani atas nama Rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta”. Sekitar pukul 03.00, gemuruh tepuk tangan mengisi ruangan rapat. Sebelum menutup rapat, Bung Karno mengingatkan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00
Teks Proklamasi akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan
Timur 56. Saat itu Bulan Ramadhan, dimana umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Pukul 10.00 Teks Proklamasi dibacakan, Sang Saka Merah Putih dikibarkan, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan sebagai pertanda Indonesia telah menjadi negara merdeka dan berdaulat.
Sore harinya seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) datang menemui Bung Hatta menyampaikan bahwa kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi ; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” merupakan kalimat yang diskriminatif terhadap kelompok non Muslim. Opsir tersebut bahkan mengingatkan Bung Hatta : “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”. Bung Hatta berpendirian bahwa Mr. A.A. Maramis salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen tidak mempersoalkan hal tersebut dan ikut menandatangani naskah tersebut. Karena hanya mengikat pemeluk Agama Islam. Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 sebelum Sidang PPKI dibuka, Bung Hatta memanggil 4 (empat) orang Tokoh Islam : Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H. Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan untuk membahas hal tersebut. Mereka kemudian bermufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang dianggap diskrimatif tersebut.
Dari uraian rangkaian sejarah kebangsaan di atas, terlihat bahwa kekuatan para Tokoh Pendiri Bangsa ini (founding fathers), yaitu saat menjelang kemerdekaan untuk menyusun suatu dasar negara. Pemeluk agama yang lebih besar (mayoritas Islam) menunjukan jiwa besarnya untuk tidak memaksakan kehendaknya. Bunyi Pembukaan (preambule) yang sekarang ini, bukan seperti yang dikenal sebagai “Piagam Jakarta”. Hal ini juga terjadi karena tokoh-tokoh agama Islam yang dengan kebesaran hati (legowo) menerimanya. Di samping itu, komitmen dari berbagai elemen bangsa ini dan para pemimpinnya dari masa ke masa, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang konsisten berpegang teguh kepada 4 (empat) konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Posting Komentar untuk "Wawasan Kebangsaan dan Nilai Nilai Bela Negara"